SHARING ECONOMY: TREN BISNIS YANG TAK TERBENDUNG



Yuswohady, Pakar Pemasaran
Konsep sharing economy, atau disebut juga collaborative consumption, baru berkembang kira-kira 10 tahun lalu. Salah satu pemicunya adalah munculnya kesadaran akan sumber daya yang kian terbatas. Terutama, oleh adanya kecenderungan untuk melakukan konsumsi secara berlebihan. Berkat sharing economy, penggunaan sumber daya yang ada bisa menjadi lebih irit dan efisien karena dipakai bersama. Alhasil, konsep ini juga bisa dikatakan ramah lingkungan.

Salah satu penerapan sharing economy, yaitu bisnis dengan aset yang ramping atau asset light company, sudah dikenal lama sebelumnya. Bisa dibilang, memiliki asset light company adalah idaman  tiap pengusaha. Tanpa memiliki banyak aset, mereka dapat memperoleh keuntungan yang lumayan. Contoh sukses konsep bisnis ini adalah Zipcar, perusahaan car sharing yang dimulai di Boston, Amerika Serikat, pada tahun 1999. 
Kini, dengan menjalankan sharing economy dan bermodalkan online platform yang biayanya relatif rendah, memiliki bisnis yang asetnya ramping  makin memungkinkan. Dari segi manajemen, model bisnis ini menghadirkan inovasi nilai (value innovation), yang dapat menguntungkan semua pihak yang terlibat, mulai dari pihak pebisnis sebagai pencipta platform, juga penyedia layanan dan pelanggan.

Pemanfaatan teknologi mutakhir juga menimbulkan ‘cool factor’, sehingga masyarakat makin tergerak untuk menjajal bisnis yang menerapkan konsep sharing economy. 
Indonesia tidak ketinggalan menjajaki tren ini. Beberapa yang sudah menerapkan konsep bisnis ini di dalam negeri misalnya Bistip.com. Dengan layanan peer-to-peer courier service, pengguna dapat menitip barang pada pengguna lain yang akan bepergian ke luar kota atau luar negeri dengan biaya tertentu. Contoh lainnya adalah Go-Jek, yang menggunakan platform berupa aplikasi mobile sebagai marketplace untuk pengemudi dan penumpang ojek.

Ke depannya, sharing economy akan terus berkembang, tak hanya sebagai tren bisnis, namun juga alternatif solusi permasalahan sosial. Perusahaan akhirnya menjadi milik banyak orang, sehingga turut bermanfaat untuk memberdayakan banyak orang yang terlibat, dan dicintai para stakeholder-nya.
Dalam persaingan bisnis pun konsepnya bukan lagi dog eat dog atau condong pada persaingan yang ‘mematikan’. Tetapi, lebih kepada persaingan yang berbasis kolaborasi. Sehingga, yang kemudian timbul adalah coopetition, leburan dari cooperation dan competition.

Persaingan yang kolaboratif ini sekarang menjadi tren yang positif, sehingga bisnis menjadi lebih ramah. Dengan penggunaan platform berbasis teknologi informasi, persaingan yang berbasis kolaborasi ini menjadi lebih teratur. 
Sementara itu, ketika muncul model bisnis baru, terkadang yang menjadi korban adalah model bisnis yang lama. Namun, justru di saat inilah, kesempatan bagi para wirausaha agar jeli melihat peluang sharing economy terbuka lebar. Apalagi, saat ini  sharing economy sudah menjadi tren global, dan masa depan semua aspek bisnis akan menjadi seperti ini.

Dalam mengembangkan model bisnis sharing economy, tantangan yang paling besar adalah trust atau kepercayaan. Karena adanya hubungan saling menguntungkan bagi  tiap stakeholder yang terlibat, mereka akan saling menjaga kepercayaan itu. Tapi, di tengah persaingan, bisa saja ada oknum yang melakukan tindak kriminal dengan mengambinghitamkan bisnis tertentu untuk merusak kepercayaan publik. 
Lebih jauh, implikasi dari kepercayaan ini adalah kurangnya quality control dari pebisnis. Bila ingin memiliki kontrol yang lebih ketat, harus ada kepemilikan aset, sehingga nanti bisnisnya tidak lagi asset light.

Di lain pihak, terkadang regulasi belum bisa mengikuti pesatnya perkembangan teknologi. Padahal, hal itulah yang turut mendorong munculnya model-model bisnis baru seperti bisnis asset light yang berdasarkan sharing economy. Ketika ini terjadi, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan. 

Jika belum ada peraturan, pemerintah harus bisa tanggap dan membuatkan payung hukum untuk mendukung beroperasinya bisnis yang sudah ada. Karena, bila  berpasrah pada mekanisme pasar, bisnis yang berbasis komunitas, apalagi jika dijalankan di online platform, punya kecenderungan untuk menjadi monopolistis. Namun, jika sudah ada regulasi sebelumnya, pengusahalah yang harus berinovasi untuk menyesuaikan model bisnisnya, agar tidak melanggar aturan. Bila ada tentangan, misalnya pemboikotan Go-Jek, itu bisa diatur dengan campur tangan pemerintah lewat regulasi yang ada atau akan dibuat. 

Bila Anda hendak merintis bisnis dengan aset yang ramping, terutama yang berbasis teknologi informasi, mulailah dengan bereksperimen dalam skala kecil. Ini penting untuk melihat apakah model bisnisnya bisa berjalan. Bila berhasil, saatnya memperbesar bisnis dengan menggaet investor. 

Setelah mendapatkan pendanaan, barulah Anda akan diuji betul, apakah model bisnisnya akan bisa berjalan di skala yang lebih besar. Selanjutnya adalah proses peningkatan layanan, seperti menambahkan fitur, memperkuat trust, memperbaiki layanan pelanggan dan operasional, sambil terus melakukan inovasi lanjutan.

Nantinya, perusahaan dengan model sharing economy atau collaborative consumption akan menjadi mainstream. Sekarang pun kita sudah mulai menyadari bahwa sumber daya  makin terbatas sehingga harus  makin dihemat. Tekanan-tekanan seperti ini nantinya akan mendorong  tiap perusahaan untuk peduli pada lingkungan dan permasalahan sosial. 


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di TULISKAN.com

0 komentar:

Posting Komentar

PELUANG BISNIS

PELUANG BISNIS
PELUANG BISNIS DENGAN MODAL DITABUNG
Diberdayakan oleh Blogger.